Love Cartography


Bagi seorang pemuda normal yang biasa-biasa saja hidupnya seperti saya, lelaki yang paling menyeramkan adalah calon bapak mertua. Atau kalau mau disederhanakan, lelaki yang paling menakutkan adalah ayah dari gadis yang saya taksir. Begitulah keyakinan saya ketika masih muda, not a very long time ago.

Sore itu di penghujung tahun 1997, untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Bapak Putu Gelgel, yang sekarang adalah kakeknya Lita. Karena hidup penuh rencana dan penuh target, saya membawa beban tersendiri ketika bertemu beliau pertama kali. Saat itulah saya merasa kualitas hidup saya benar-benar diuji, jauh melebihi sulitnya ujian Kartografi Dasar yang sebentar lagi saya lakukan. Saya adalah seorang pemuda tanggung yang belum genap 20 tahun dalam usia. Masih sangat belia, tergagap-gagap dan rupanya belum tahu apa-apa dalam hidup.

Satu yang pasti, saya harus membuat lelaki ini terkesan. Begitu saya menargetkan diri. Kesan pertama, konon kabarnya, harus menggoda karena kemudian bisa terserah saya untuk mengendalikan permainan.  Pertemuan itulah yang menentukan apakah kelak saya diperbolehkan menyunting putri kesayangannya.

Saya berdiri melihat sebuah peta kuno. Saya memang diajak naik ke lantai dua rumah beliau di Magowoharjo. Di sebuah pintu menuju Pura Keluarga, terpampang sebuah peta yang umurnya sudah cukup tua.  Saya yang belum juga merampungkan tiga semester di Teknik Geodesi tentu saja masih terbata-bata saat berargumentasi tentang peta. Saya masih belum sepenuhnya mengerti makna garis-garis yang berseliweran di peta itu, yang kemudian saya pahami sebagai garis kontur. Itu adalah Peta Gunung Agung.

Bisa dibayangkan, betapa rapatnya garis kontur tersebut karena memang menggambarkan sebuah gunung tertinggi di Bali. Beliau kemudian menunjuk peta tersebut, menjelaskan pada saya posisi Pura-Pura di sekitar Gunung Agung, terutama Besakih, Pura terbesar di Bali.

“Apa bisa direkalkir?” tiba-tiba beliau bertanya. Saya sendiri belum akrab dengan istilah rekalkir, meskipun sudah pernah mendengarnya. Saya sedang mengambil mata kuliah Kartografi Dasar. Kartografi, menurut buku yang baru sempat saya baca dan hafalkan waktu itu, adalah ilmu, seni dan teknologi penggambaran peta.

“Bisa Pak” saya menjawab singkat. Saya memang pernah mendengar bahwa peta kuno bisa digambar ulang di atas kalkir. Itu namanya rekalkir. Di luar dugaan saya, beliau mencabut pines yang menahan keempat sudut peta tersebut, menggulungnya dan menyerahkannya pada saya.

“Coba kamu rekalkir” demikian permintaan beliau yang ditelinga saya terdengar seperti perintah yang tidak ada pilihan jawabannya kecuali “siap, laksanakan!”

Mahasiswa tingkat dua inipun terkesiap, terkejut dengan tugas yang dilimpahan kepadanya. Meski begitu, saya berusaha [terlihat] tenang. Saya sudah tidak bisa konsentrasi dengan percakapan kami selanjutnya karena otak saya dipenuni banyak rencana dan terutama pertanyaan seputar cara melakukan rekalkir. Setelah menyelesaikan percakapan yang sesungguhnya penting itu, saya melesat pergi, bertemu dengan Bli Ketut ’93 [tentu saja Bli Ketut tidak ingat cerita ini karena memang tidak saya certakan alasan saya bertanya padanya waktu itu]. Beliau di mata saya adalah mahasiswa Geodesi paling pintar waktu itu. Dari beliaulah saya berguru sampai akhirnya cukup percaya diri melakukan tugas yang diberikan calon mertua. Jika tugas ini gagal saya selesaikan, maka pupus lah harapan saya dan sejarah hidup bisa jadi lain.

Sejak hari itu, saya tenggelam dalam penggambaran peta tesebut. Saya menempatkan peta kuno itu di atas sebuah meja besar lalu di atasnya saya tempeli kalkir baru. Saya pun kemudian meniru atau menjiplak bentuk-bentuk yang ada di peta kuno sehingga kemudian bentuk yang sama ‘berpindah’ ke kalkir baru itu. Saya sangat menikmatinya.

Seorang kawan terpesona melihat hasil karya saya. Dia berkomentar bahwa saya bahkan lebih serius saat mengerjakan peta itu dibandingkan saat mengerjakan tugas Kartografi beberapa hari lalu. Perjuangan memperoleh nilai A, tentu memang tidak ada apa-apanya dibandingkan meyakinkan calon mertua, kata saya dalam hati.

***

Semua orang berkerumun menyaksikan peta yang saya buat. Calon ibu mertua, calon kakak ipar dan tetangga juga melihatnya. Ketika ada salah satu dari mereka yang berkomentar setengah histeris “kok bisa Andi menggambar peta seperti ini?” Bapak calon mertua hanya menjawab datar dan singkat “Itulah,  gunanya sekolah!”  Jawaban itu singkat, tidak memuji tetapi sanggup menegaskan bahwa saya tidak ditolak, meskipun belum tentu diterima.

Wollongong, 20 November 2009

Sebuah email datang dari Clive

Also attached is a map of Arctic navigational routes. Did you ever do a version of this for me? I suspect not, in which case (and asap of course!) could you do one please? Really I only need the northwest Passage, Northern Sea Route and another line for a Transpolar Route (between the Bearing Strait and Iceland via the North Pole). the other lines shown (key marine routes and notable icebreaker voyages can be ignored).

Thanks!

Apa yang terjadi belasan tahun lalu itu ternyata ada maknanya. Sejak sekolah di negeri orang, saya sering mendapat ‘proyek’ menggambar peta ilustrasi untuk publikasi (jurnal/buku). Pembuatan peta ini persis seperti 12 tahun lalu, hanya tinggal menjiplak saja. Bedanya, dulu menggunakan kalkir, sekarang menggunakan Corel Draw. Ketelitian yang diharapkan juga tidak tinggi. Prosesnya sama saja, saya akan dikasih peta dasar yang kemudian harus dijiplak/ditiru menggunakan Corel Draw lalu ditambahi sedikit analisis dan informasi lain yang diinginkan.

Meskipun kali ini tidak untuk mendapatkan seorang istri, menggambar peta ini bisa jadi membuat saya mampu membeli Macbook Air atau bisa mengajak putri dan cucu Bapak Putu Gelgel untuk liburan ke Bali.  Sejarah memang menyimpan misterinya sendiri dan bisa jadi terungkap setelah belasan tahun.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

17 thoughts on “Love Cartography”

      1. apalagi sekarang statusnya dah CPNS, harus minta ijin sama atasannya dulu mas.. hehehe.. biasalah birokrasi.. :p

      2. Wah,kandidat doktor aja masih dapet proyek corel Pak..apalagi sarjana…harusnya lebih banyak donk :mrgreen:
        tapi kalo kata mas oki,harus ijin dulu ke bos,ya ga papa deh pak di pending dulu ajakan gambar petanya..sampai saya tau,kepada siapa saya harus minta ijin…hehe

  1. Hmm…, rekalkir secara sederhana pernah diajarkan pada saya dan teman-teman saat SD/SMP, kami rasa kami sangat menyukai itu, kecuali waktu itu kertas kalkir lumayan mahal bagi orang pedesaan 🙂

  2. great story..
    seandainya saya bisa mengingat banyak peristiwa di masa lalu saya yg terkait dengan hidup saya sekarang..
    cant wait to read your upcoming stories..
    btw, project yg 20 Nov dari clive itu bisa buat beli D90? mantabs….. hehehehe..

  3. wah, ceritanya keren pak. pasti kakeknya Lita bangga sekali waktu itu :’)
    *tiba-tiba terbayang wajah bapak saya berhadapan dg calon mantunya kelak*

    ahh…walaupun pacar saya bukan anak geo tapi akan saya sarankan melakukan jurus peta ini, nanti biar digambarkan peta menuju biduk rumah tangga saja ;D #ehMulaiGalaw

    *salam kenal*
    *menjura hormat :)*

  4. Apa bisa peta yang mengubah sejarah itu juga ditampilkan di sini? Supaya tambah seru. Biasanya orang akan menyebutnya sebagai “saksi bisu sejarah”. 😉

    Subhan Zein

  5. th 1997 pertama kali kenal mantu saya ini,tak terbayangkandia su kses dan membawa almamaternya terangkat. Waktu awal karier saya, saya sering NGASI OBYEKAN DOSENNYA. di Proyek2 Pengairan spt Proy Bengawan solo., spt traceperencanaan saluran dll. Jadi dosennya itu “baru dapat obyekan dari “teknik sipil”. Ingat (waktu itu(misalnyaITB saja teknik sipil namanya TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN(dibawahnya ada teknik geodesi)dan di UGM TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN(CIVIL AND ENVIRINMENTAL ENGINEERING. Mantu saya sekarang tak perlu obyekan9PENGUKURANTERISTRIS dari teknik sipil lagi. Saya MERASA IKUT BERHASILmeningkatkan PERANAN LULUSAN TEKNIK GEODESI UMUMNYA diawali dengan mulainenyuruh gambar kalkir PETA TOPOGRAFI GUNUNG AGUNG. Saya sangat bersukur

Bagaimana menurut Anda? What do you think?