Rapuhnya Batas Wilayah Negara Kepulauan Indonesia: Refleksi masyarakat kita untuk Ambalat


[Sebuah catatan kecil dari Seminar Nasional]

I Made Andi Arsana

Seminar yang diprakarsai oleh Keluarga Mahasiswa Teknik Geodesi dan didukung sepenuhnya oleh Bakosurtanal ini dibuka oleh Dekan Fakultas Teknik, Prof. Indarto pada pukul 9.00 pagi, 3 Mei 2005. Ada beberapa catatan penting yang perlu disimak dari seminar ini dan merupakan fenomena menarik sekaligus refleksi masyarakat Indonesia dalam menyikapi sebuat sebuah konflik antarnegara.

Sekali lagi, Ambalat bukan pulau.
Seperti kekeliruan yang umum terjadi di masyarakan, ternyata masih banyak yang menganggap bahwa Ambalat adalah sebuah pulau. Hal ini tercetus tidak saja dari peserta seminar bahkan juga dari Dekan Teknik selaku pembuka seminar, dan juga seorang pembicara bidang hukum. Ini adalah sebuah kesalahan serius, apalagi ketika diungkapkan oleh seorang akademisi yang tutur bahasanya selayaknya dipercaya. Memandang Ambalat sebagai sebuah pulau tentu saya memberi konsekuensi legal yang sangat berbeda. Dalam konsep kedaulatan, dikenal istilah kedaulatan penuh (sovereignty) dan hak untuk berdaulat (sovereign rights). Keduanya adalah hal yang benar-benar berbeda dan perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Kedaulatan penuh berlaku terhadap wilayah darat (termasuk pulau) dan wilayah perairan pedalaman (atau perairan kepulauan, untuk kasus Indonesia) dan laut teritorial. Jika Ambalat dianggap pulau oleh sebagian orang, artinya mereka pun berpikir bahwa pada Ambalat berlaku kedaulatan penuh. Ini berarti bahwa jika sebagain orang menganggap Ambalat adalah milik Indonesia, Malaysia akan dianggap merebut kedaulatan penuh tersebut dan wajar jika ‘perang’ dan ‘ganyang’ adalah jawabannya.

Sekali lagi, Ambalat bukanlah pulau melainkan wilayah dasar laut yang diduga (dengan data) mengandung cadangan minyak dan gas bumi. Hal ini ditegaskan oleh Arif Havas Oegroseno dari Polkamwil Deplu. Dengan kata lain, berbicara tentang Ambalat, berarti berbicara tentang wilayah dasar laut/seabed. Melihat jaraknya dari pulau Kalimantan (Borneo), Ambalat berada pada Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara atau bahkan Landas Kontinen, karena berkaitan dengan dasar laut.

Malaysia tidak berhak mengklaim Ambalat?
Ada sebuah pendapat yang dinyatakan oleh seorang petinggi negara kita bahwa Malaysia bukanlah negara kepulauan sehingga tidak berhak atas laut teritorial. Ini pernyataan yang sangat keliru.
Menurut Konvensi hukum laut, sebuah negara pantai (negara yang wilayah daratannya secara langsung bersentuhan dengan laut) berhak atas zona maritim laut teritorial, EEZ, dan landas kontinen sepanjang syarat-syarat (jarak dan geologis) memungkinkan. Dalam hal ini, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia dan Malaysia yang sama-sama telah meratifikasi UNCLOS III memang berhak untuk mengklaim wilayah laut. Hanya saja, seperti dapat diduga, memang akan terjadi pertampalan atau tumpang-tindih klaim antar kedua negara. Ambalat, di satu sisi, berada pada klaim tumpang tindih ini. Dengan demikian, Malaysia secara hukum memang berhak atas klaim tersebut.

Sipadan Ligitan, bagaimana perannya?
Diberikannya kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia oleh ICJ pada tahun 2002 melahirkan potensi berubahnya konfigurasi garis pangkal Indonesia dan Malaysia. Garis pangkal Indonesia kini tidak lagi menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal sehingga zona laut yang bisa diklaim akan berubah dan cenderung menyempit. Sementara itu, Malaysia bisa saja menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal yang konsekuensinya adalah wilayah laut yang bisa diklaim akan melebar ke bagian selatan. Ini juga yang memperkuat dasar klaim Malaysia terhadap ambalat. Namun demikian, tetap ada kemungkinan Indonesia menolak memberikan peran penuh (full effect) kepada kedua pulau tersebut sehingga tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap klaim malaysia.

Dasar Klaim dan Klaim sepihak
Pendapat umum mengatakan bahwa klaim Indonesia lebih kuat dibandingkan klaim Malaysia karena klaim Indonesia berdasarkan UNCLOS III sedangkan klaim malaysia berdasarkan Peta 1979 yang dibuat secara sepihak. Hal ini benar adanya, namun tidak berarti bahwa Malaysia tidak mengacu kepada UNCLOS III mengingat Malaysia juga telah meratifikasinya. Di sisi lain, peta tahun 1979 memang dibuat sepihak dan Indonesia telah memprotesnya bahkan pada bulan Februari 1980. Perlu diingat lagi bahwa pada dasarnya Malaysia boleh saja mengajukan klaim sepihak, tugas Indonesia dan negara lainlah untuk menolak atau menyetujui klaim tersebut. Intinya adalah negosiasi dan kesepakatan bilateral. Bukankah Indonesia juga melakukan hal yang sama terhadap si kecil Palau yang mana klaim kita jauh melampuai garis tengah antara Indonesia dan Palau. Sepanjang Palau tidak/belum memprotes, toh tidak ada yang emosi karenanya. Rakyat Indonesiapun tidak begitu peduli dan tidak mau tahu dengan hal ini. Namun tentu saja dosa tidak boleh dibayar dosa. Kesalahan Malaysia yang mengklaim sepihak tidak bisa diampuni hanya gara-gara Indonesia juga mengklaim sepihak atas Palau.

Ajukan ke Mahkamah Internasional?
Clive Schofield, pembicara dari CMP, University of Wollongong, mengatakan bahwa negosiasi adalah jalan keluar terbaik menyelesaikan masalah ini. Dengan negosiasi, akan dimungkinkan mencapai apa yang diinginkan tanpa ada yang kalah dan menang. Tentu saja, menurutnya, dalam bernegosiasi kita tidak bisa berharap akan memperoleh seluruh keinginan kita. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa Malaysia memang juga berhak atas klaim wilayah laut.

Dengan menyerahkan kasus ini kepada Mahkamah Intenasional (ICJ) kedua pihak akan kehilangan kendali terhadap kasus ini. Sederhanaya, kita menyerahkan segala keputusan kepada pihak ketiga yang belum tentu bisa sepenuhnya memahami histori dan emosi hubungan kedua negara. Hal ini tentu akan diperburuk dengan kelemahan kita dalam menyediakan bukti-bukti hukum.

Indonesia dengan para ahlinya
Ada hal menarik dari seminar ini bahwa Indonesia ternyata telah melakukan cukup banyak hal berkaitan dengan penyelesaian perbatasan laut internasional dengan negara tetangga. Dari rangkuman Clive Schofield, terlihat setidaknya ada 8 perjanjian yang telah disepakati dengan negara tetangga. Sebuah prestasi yang luar biasa. Hal semacam ini nampaknya perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar lebih menghargai usaha pemerintah. Masih menurut Clive, Indonesia adalah Bapak dari Negara Kepulauan yang telah berkontribsi signifikan dalam pembentukan UNCLOS III. Konsep negara dan garis pangkal kepulauan adalah wujud kontribusi Indonesi dalam konvensi tersebut.
Mengingat Indonesia telah berpengalaman dalam penyelesaian perbatasan laut dengan negara tetangga, adalah wajar jika Indonesia seharusnya percaya diri dalam menyelesaikan masalah Ambalat dengan Malaysia. Pengalaman ini tentu saja akan menjadi nilai tambah dalam bernegosiasi dengan Malaysia nantinya. Dengan tegas, Clive Schofield bahkan menyatakan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak perlu ahli asing dalam hal ini. ”I am cofused what I am doing here now”, begitu dia berkelakar.

Catatan Akhir
Seminar ini mengigatkan setidaknya tiga hal:

  1. Indonesia memiliki ahli dan pengalaman yang memadai, namun sayang tidak banyak ahli memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan persoalan seperti kasus Ambalat dengan bahasa yang populer dan dipahami masyarakat.
  2. Kasus Ambalat, seperti halnya kasus antar negara lainnya, bersifat rahasia karena masih belun dirundingkan. Hal ini menyebabkan pemerintah harus merahasiakan strateginya. Ini harus dipahami masyarakat bukan sebagai ketidakterbukaan pemerintah terhadap informasi namun sebagai upaya menyelamatkan rencana negosiasi. Masyaratakat harus memahami kapan saatnya transparan dan kapan pemerintah boleh merahasiakan sesuatu.
  3. Pemerintah, tokoh masyarakat, ahli dan media, dengan semangat kebangsaan harus saling mendukung. Pernyataan ekstrim di satu sisi memang sangat mendongkrak penjualan oplah, namun di satu sisi juga meresahkan masyarakat. Petinggi pemerintah juga harus sangat berhati-hati mengeluarkan pernyataan jangan sampai melemahkan posisi Indonesia di dunia internasional karena mengeluarkan pernyataan yang tidak benar secara legal dan ilmiah.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

4 thoughts on “Rapuhnya Batas Wilayah Negara Kepulauan Indonesia: Refleksi masyarakat kita untuk Ambalat”

  1. Stujuh! Bli Andi emang ahlinya niy, Bli…bikin ulasan di KOMPAS dooongg, kupas tuntas dan terpercaya gituhhh 🙂

  2. Maaf saya kurang teliti mencari sumber aslinya, sy dapatkan artikel tentang Ambalat dari kolom opini kompas.com.. telah saya koreksi n hatur tararengkyu telah mengingatkan.

    Salam kenal ti mBandunk 😉

Bagaimana menurut Anda? What do you think?