Opera Padas


Cerpen I Made Andi Arsana

“Teng teng teng!” dentuman paji1 beradu dengan palu besi, bisingnya akrab di telingaku. Serpihan batu padas yang berhamburan sesekali membentur tubuh kecilku yang terbungkus handuk kumal yang barangkali sudah sebulan tidak dicuci. Serpihannya menyelip diantara bulu-bulu handuk yang kian hari kian kusam, rapuh berguguran. Aku, seperti hari kemarin, tidur telentang di pojok dataran patu padas, menyaksikan dengan mata setengah terlelap, ibu yang sedang memukul paji dengan palu besarnya. Beliau, dengan tekun, menggali batu padas. Pekerjaan yang telah dilakukan entah berapa tahun sudah, sampai seakan dia tidak perlu membuka mata untuk melakukannya lagi dan lagi.

Pagi tadi, subuh entah jam berapa, aku seperti setengah sadar diraih dari tempat tidur, dibopong keluar. Napas Ibu yang terengah, seperti musik yang akrab di telinga ketika menggendong tubuh kecilku. Berjalan setengah berlari melintasi sawah menuju pinggir kali, di mana keluarga kami melakukan penambangan batu padas. Kakinya seakan bermata tajam, melintasi pematang kecil yang nyaris tidak nampak karena padi mulai berjuntai menutupi jalan. Tidak sedikitpun dia ragu melangkahkan kaki, tidak takut terpeleset dan memang tidak pernah. Kakinya seperti sudah hafal di mana ada lubang, dan kapan harus melompat agak panjang menghindari cekungan di pematang sawah. Cekungan ini adalah untuk jalan air dari satu petak sawah ke petak lain di bawahnya.

Aku hanya mendengar nafas terengah ketika kaki perkasa ibu mencapai ujung paling barat sawah yang dilaluinya. Kini saatnya langkah mulai pelan karena jalanan menurun terjal. Bukan saja setapak yang tidak nampak jelas, tapi juga jalan licin berair yang membuatnya harus ekstra hati-hati. Langkahnya dihitung satu-satu, memastikan pijakannya di tempat yang persis sama dengan yang dilaluinya kemarin. Tanah yang dipijaknya adalah sedikit saja dari jalan setapak yang agak kering dan memastikan tubuh kami tidak terpeleset ambruk. Ketika melewati tegalan Nang2 Koplar yang dialiri air, seperti biasa Ibu memindahkan tubuh kecilku dari bahunya dan ditimangnya seperti bayi. Inilah saatnya dia harus melompat agak panjang melampaui parit kecil di tengah tegalan. Aku sepertinya masih pulas, tetapi seakan menikmati semuanya, terutama semangat ibu yang memberi perlindungan.

”Wusss!” lompatan yang sama, menerbangkanku ke tepi utara parit, sempurna kaki ibu menginjak bagian kering yang membuatnya tetap tegak berdiri, tidak terpeleset. Subuh masih juga gelap, kami menyebrangi sungai kecil berair deras melalui titi3 bambu yang diikat menjadi satu. Aku masih ingat jelas, ada sekitar tujuh bambu disandingkan menjadi jembatan alami. Di sebelahnya terdapat pengancan4 dari sebilah bambu, di mana ibu selalu berpegangan ketika melintasi sungai. Dalam keterlelapanku, aku melihat semuanya.

Perjalanan setelah menyebrangi sungai ditempuh sekitar 18 menit menyusuri tepi sungai, sebelum akhirnya sampai di tempat penambangan batu padas. Aku mulai terjaga. Hari masih cukup gelap. Hanya kami berdua di tempat penambangan, aku dibaringkan di pojok yang sama, diselimuti handuk kusam yang bulu-bulunya mulai rontok. Berguguran bersama serpihan kecil batu padas yang tak terhindarkan menempel padanya. Aku memandang ke langit, menyaksikan padas yang kini menjadi tebing karena ibu sudah menggali sangat dalam. Tidak ada isu galian C, saat ini. Tidak ada razia, dan sepertinya tidak ada peraturan, apalagi perhatian terhadap lingkungan, tidak ada sama sekali. Tugas kami adalah menggali dan menukar batu padas dengan harapan hidup esok hari.

Usai membaringkanku, ibu memulai ritualnya. Dibersihkannya permukaan padas yang sudah relatif datar agar terbebas dari serpihan yang tersisa kemarin sore. Mulai ditariknya garis di atas padas, tanda di mana penggalian akan dilakukan. Untunglah hari mulai terang, garis di atas padas mulai bisa dilihat. Garis inilah yang akan dijadikan patokan untuk menggali. Diayunkannya patuk5 tepat menghujam garis yang baru saja dibuatnya hingga terbentuk lubang galian sempit memanjang ke belakang. Dia membuat galian paralel di sebelahnya berjarak kurang lebih 50 cm. Lubang galian selebar 3 cm dan dalamnya 16 cm, kurang lebih. Diantara keduanya, nampaklah lempengan padas yang siap dibelah-belah. Lubang galian yang sama, dibuat melintang untuk membentuk padas berukuran 50 cm x 20 cm x 15 cm. Lubang galian itu, kalau aku umpamakan seperti grid yang membagi belahan dunia menjadi zone-zone peta di seluruh dunia. Lempengan batu padas itu kini sudah terbentuk, tinggal satu langkah lagi, memisahkannya dengan bagian padas di bawahnya. Di sinilah paji digunakan. Paji, terbuat dari besi, berbentuk seperti obeng besar, pipih ujunya dan bulat di ujung lainya. Ujung pipihnya pun menghujam tepi padas di bagian bawah dan dengan beberapa hentakan, padas pun tergali. Perlu menggunakan paji setidaknya empat biji yang terdistribusi merata di tepi bawah batu padas untuk menghindari padas menjadi patah tak berguna. Memukul paji pun, kata Ibu, harus seimbang antara satu dengan lainnya agar padas tidak patah. Nasihatnya kepadaku sangat rinci seakan memang yakin, kelak aku akan menjadi penambang padas.

Terik matahari menyengat, jam 11 lebih barangkali, lapar mulai datang. Saat itulah bapak selalu muncul bak pahlawan, membawa rantang kecil untuk makan kami bertiga. Bapak sepagian tadi harus menyiangi sawah dan bisa bergabung di penambangan saat makan siang. Sayur terong dari kebun sendiri dan tomat hasil percobaan menempel yang baru saja berhasil bulan lalu, kami santap dengan lahapnya. ”Ini namanya terong berbuah tomat”, begitu Bapak selalu membanggakan hasil karyanya. Memang beliau kreatif, untuk ukuran orang miskin. Hanya bermodal mendengar dari radio saja, beliau sudah bisa menjadikan terong kokak di halaman rumah berbuah terong bulat dan tomat. Mengagumkan!
”Dari semua kombinasi yang pernah bapak lakukan, tempelan yang paling sesuai hanya ada satu.”
”Terong kokak dengan tomat sayur?”, aku menyela berusaha menebak.
”Bukan”, bapak membantah.
”Terus, terong kokak dengan terong bulat?”, tebakku lagi
”Bukan juga!”, katanya.
”Lalu?”, aku bertanya penasaran.
”Tomat dan ikan pindang”, begitu bapak menjelaskan sambil tertawa lebar.
Itulah saat paling aku suka dari penambangan kami sehari-hari. Bapak selalu berusaha berkelakar.

Sore tiba, matahari redup. Bapak pulang mendahului. Banyak ayam yang harus diberi makan, sapi yang harus dikembalikan ke kandang dan 17 ekor itik yang harus dipastikan ada di belakang rumah. Ibu meraih tubuh kecilku dan tak lupa menggamit dua biji padas yang sudah dihaluskan. Ditaruhnya keduanya di atas kepalanya, sementara aku dengan nyaman melingkarkan kaki di pinggangnya. Tubuhku tak akan jatuh karena sudah dibelenggu dengan handuk kusam kami. Perjalanan jauh dimulai. Kami tidak segera pulang. Dua biji batu padas ini harus ditukar dengan gula, beras dan bumbu di Buahan, desa tetangga di mana banyak warung yang bersedia menukar batu padas dengan kebutuhan sehari-hari. Begitulah setiap hari, aku hafal setiap prosesnya. Proses yang menjadikan aku besar, mungkin lebih besar dari yang pernah aku bayangkan.

Langkah ibu kembali mengalun, melintasi jalan yang sama, menghindari lubang yang sama pula. Kakinya seperti tidak menyentuh tanah, sigap melayang di atas pematang seakan tidak menginjak rumput di bawahnya. Temaram merah di ujung barat pertanda hari telah senja. Rumah tentu telah menunggu, gelap pasti menyelimuti. Lentera dan lampu teplok harus dinyalakan sebelum hari terlalu gelap. Itulah pekerjaan utama yang harus dilakukan ibu sesampainya dari penambangan. Minyak tanah yang kemarin entah masih entah tidak…

Telepon berdering, menyadarkan aku dari lamunan. ”Hello, Andi’s speaking6, aku mengangkat telepon. Terdengar suara santun di seberang. Informasinya mengejutkan sekaligus menyenangkan. Sayup-sayup aku simak ”We finally agree to invite you for an international seminar in Monaco, Next year. You will be addressing a keynote speech together with another expert from Canada. All details will be sent to you soon, together with flight details and honorarium.”7

Aku melamun dalam senyum, sambil memperhatikan mobil yang lalu lalang di Sydney Harbour Bridge. Lengkungan jembatan paling terkenal di Australia itu terlihat perkasa dari kantorku di lantai 37. Luna Park di bawahnya nampak ceria dan Sydney Opera House di sampingnya terlihat tegar. Tegar, seperti tegarnya kaki ibuku yang tetap kuingat sampai kini menggendongku dan telah mengajakku melelawati padang ilalang kehidupan yang kadang cadas. Jika pun beliau tidak sempat menikmatinya, aku yang kini berdiri di di ruang kaca memandang alam sekitar dengan leluasa, telah menikmatinya. Kupersembahkan kebanggan ini sepehuhnya kepada ibu dan bapakku, Terima kasih Ibu.

Sydney, summer 2006

Footnote
1 Lempengan besi pipih mirip obeng, digunakan untuk memisahkan bongkahan batu badas dengan bagian di bawahnya untuk kemudian dibaluskan sehingga didapat batu padas berukuran balok.
2 Nang sama dengan Pak
3 Titi adalah istilah jembatan tradisional di Bali
4 Pengancan adalah istilah untuk pegangan ketika menyebrangi titi
5 Patuk adalah istilah Bali untuk penggali batu padas, terbuat dari besi pipih seperti pacul.
6Halo, Andi di sini
7Kami akhirnya memutuskan untuk mengundang Bapak untuk menjadi pembicara kunci di sebuah seminar internasional di Monaco tahun depan. Segala rincian akan dikirim kepada Bapak termasuk tiket pesawat dan ketentuan honor.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

17 thoughts on “Opera Padas”

  1. Opera Padas yang lembut. Siip! Btw, ke Monaco? Ikuuttt… masih ada tiket sisa? Selamat maju ke babak selanjutnya dan bertamasya ke Monaco.

  2. Kini, anak yang tidur telentang di pojok dataran patu padas itu sedang melamun dalam senyum, sambil memperhatikan mobil yang lalu lalang di Sydney Harbour Bridge…

  3. cerita apapun yg ditulis dr hati akan sampai pada hati pembacanya…

    ah, jd kanegn pulang, memeluk ayah ibu 😦

    pak andi, maya juga ada blog, i’m very grateful if u wanna share ur comment about my story 🙂
    thanks. sukses slalu

  4. that is totally awesome…!!jd keynote speaker ke monaco,,,!?!huwah…hebat as always,..berikan saya tips2 nya donk,,,so that i can follow ur path…congrats!

  5. Om Swastyastu.
    Mantep sekali bli tulisan yang ini. Suka. Antara kesederhanaan kehangatan dirumah dan akhirnya berbicara di tempat yang asing luar biasa. Monaco. Dengan posisi sedang di Sydney.

    Sangat menginspirasi bli! Semoga saya segera menyusul 🙂

    Perkenalkan saya Made Bhela dari “Bumi Mekepung” Jembrana Bali, Bli.
    Sedang kuliah di Perencanaan Wilayah dan Kota UGM. Anggota KMHD Juga 🙂

    Penuh harap kalo Bli Andi sedang ada waktu luang untuk kunjungi blog saya di madebhela.wordpress.com 🙂

    Salam hangat dan matur suksma.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?