Sepuluh tahun mengenal dunia


Gadis itu memakai baju terusan batik berwarna merah hati, rambutnya rapi tertata, kulitnya putih bersih. Sambil tersenyum dia menawarkan handuk kecil putih yang berasap. Aku baru pertama kali melihat pemandangan ini, aku yang udik tidak pernah melihat handuk panas berkepul asap yang baru saja disodorkan kepadaku. Untuk apa benda kecil ini? Ternyata itu adalah handuk untuk membersihkan tangan dan wajah. Memang segar rasanya setelah menyapu wajah dengan handuk panas itu. Pengalaman yang sangat berkesan. Pramugari muda yang cantik itu telah memberiku kenangan yang kuat.

Pengalaman itu telah berlalu. Aku mengenal Singapore Airlines dan terbang antarnegara untuk pertama kalinya di tahun 1999. Kini, ternyata sudah sepuluh tahun. Setelah sepuluh tahun, beberapa hari lalu terjadilah  hal serupa. Aku terkantuk-kantuk di sebuah kursi pesawat nan besar A-380 Singapore Airlines yang menerbangkanku dari Sydney ke Singapore dan kemudian ke Paris. Perjalanan yang panjang dan melelahkan, hampir 24 jam penerbangan.

Yang berbeda dari kedua perjalanan berjarak sepuluh tahun itu adalah diriku. Akulah yang ternyata berubah. Aku tak lagi terkejut melihat gulungan sapu tangan putih yang mengepul itu, dan tak lagi bingung cara menggunakannya. Jika penerbangan tahun 1999 adalah perjalanan menuju sebuah negeri yang dihindari atau sulit dikunjungi orang, Korea Utara, maka perjalanan kali ini adalah ke sebuah pusat peradaban yang diidamkan banyak orang, Paris. Keduanya memang perjalanan yang berbeda. Namun begitu, keduanya masih punya kesamaan. Keduanya adalah penerbangan gratis, aku tidak punya uang untuk membayar sendiri.

Dua kejadian identik yang melibatkan sapu tangan tergulung yang mengepulkan asap adalah dua titik pembatas kejadian dan di tengahnya telah terjadi banyak sekali hal. Sejak berkunjung ke Korea Utara sepuluh tahun lalu, aku telah diberi kesempatan oleh sang waktu untuk mengunjungi sudut-sudut dunia yang oleh orang tuaku bahkan belum sempat dimimpikannya.

Perjalananku telah melewati lintang utara hingga hampir 60 derajat dan terentang ke selatan hingga sekitar 38 derajat lintang selatan. Dari Oslo yang dekat dengan Kutub Utara, hingga Melbourne yang seakan ingin mencium Antartika. Waktu dan mimpiku telah membawaku jauh, setidaknya bagi dua orang tua yang tak sempat menikmati mewahnya bangku sekolah menengah. Meskipun aku tahu, bagi sahabatku lainnya, perjalanan ini bahkan tak layak disimak sejarahnya.

Kadang ada yang bertanya, apa yang telah aku dapatkan? Tak mudah menjawab pertanyaan ini karena selayaknya dia tidak dijawab dengan cara-cara biasa. Pengalaman, pengetahuan, pemahaman tentu adalah tiga hal yang tidak akan sepadan dengan pertanyaan mendalam semacam itu. Aku sendiri tak bisa memastikan dengan satu kalimat yang utuh, apa yang sesungguhnya aku dapatkan dari pejalanan itu. Kadang diri ini dihinggapi perasaan makluk kebanyakan yang bangga karena telah menginjakkan kaki di negeri orang, selebihnya tidak ada apa-apa, tidak istimewa.

Aku kadang ingin meniru anjing yang mengencingi setiap tempat yang dikunjunginya agar dia tidak tersesat di kemudian hari. Sayang, aku hanyalah makhluk biasa yang mudah sombong dan cepat puas hanya dengan singgah. Banyak sesungguhnya tempat yang tak sempat dimaknai dan tak sedikit pelajaran yang tercecer dan tak sempat dicerna. Tetapi inilah yang barangkali dinamai perjalanan. Tak selalu kita sempat menjadi kurator setiap peristiwa dan benda karena perjalanan kadang harus bergegas dan tergesa.

Sepuluh tahun mengenal dunia, hanya ada satu yang selalu sama: aku tak pernah bisa membayar dengan uang sendiri.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

7 thoughts on “Sepuluh tahun mengenal dunia”

  1. Statement yg terbaik adalah: “Sepuluh tahun mengenal dunia, hanya ada satu yang selalu sama: aku tak pernah bisa membayar dengan uang sendiri”.
    sebuah prestasi yang patut dibanggakan, tdk hanya oleh diri sendiri, tp jg orang tua dan keluarga. banyak manusia di bumi ini yg bisa mencicipi perjalanan luar negeri, namun mereka hrs merogoh kocek dalam2.
    imbas negatif dari perjalanan luar negeri tanpa biaya sendiri adalah adakalanya ketika kita sering keluar negeri sendirian (krn beasiswa atau dinas), ujung2nya menyisakan sedikit impian: “kapan bisa kubagi pemandangan indah, cuaca yg lain, budaya yg aneh dan makanan yg gak jelas ini kepada orang2 yang kusayang?”
    New Zealand sounds a good place to attend a conference. hehehehe..
    semoga Yang Maha Kuasa memberikan kesempatan kepada kita semua untuk mampu membagi semua cerita itu dengan orang yg kita kasihi.. amien..

  2. wahaha. endingnya kuat banget. itulah perjalanan yg menggunakan modal kecerdasan dan jaringan. bahwa banyak hal bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan sedikit pun uang.

    lanjutkan, bli made. aku nunggu ceritanya saja. sebab belum bisa menemani. 😦

  3. Bli,

    Koq statement akhir nya sama: tidak pernah mengenal dunia dari saku sendiri….hihihi, saya ga kuat mbayar-nya…

  4. Peta yang tertampilkan di atas membuat saya *iri* sekaligus secara otomatis memotivasi saya 🙂

    Psotingan seperti ini yang tidak pernah bosan saya baca.
    Termasuk sms pertama yang dulu pernah pak andi kirimkan ke saya selepas presentasi mata kuliah PPBW dengan tema Sovereign Right dan Soveriegnty.

    1. Inspirasi bisa datang dari mana saja Iqbal… wajar seorang mahasiswa dpt inspirasi dari dosennya. Tapi jangan salah, dosen seringkali mendapat inspirasi dari mahasiswanya. Persoalannya hanya pada ‘mau mengakui atau tidak’ 🙂 Good luck, my friend!

Bagaimana menurut Anda? What do you think?